Sistem pengukuran dan pemantauan laut (Ocean Observing System/OOS) memiliki sejarah panjang dan hampir semua orang tahu bahwa hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah. Masyarakat yang memang hidup di daratan serta para pemangku kepentingan yang mewakilinya tentunya akan tidak berpikir sekali dua kali untuk mengiyakan usulan program pengukuran dan pemantauan laut. Hal pertama yang pasti menjadi pertimbangan adalah apa manfaat dan impak yang diperoleh dari pengukuran dan pemantauan laut? Biaya besar yang akan dikeluarkan untuk program ini akan mendapatkan timbal balik apa? Oleh karenanya, abstraksi pengukuran dan pemantauan laut sangat penting untuk meyakinkan pemangku kepentingan akan kegunaannya. Sehingga, untuk memulai program pengukuran dan pemantauan laut diperlukan analisis biaya dan manfaat (cost-benefits analysis) secara finansial baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Salah satu pendekatan untuk melihat impak OOS adalah dengan menghitung perbandingan Gross Value Added (GVA) suatu sektor/program saat menggunakan data OOS dan saat tanpa menggunakan data OOS. GVA adalah ukuran nilai ekonomi yang dihasilkan oleh sebuah sektor program (ekonomi, industri, dll). GVA menunjukkan selisih antara nilai barang atau jasa yang dihasilkan (output) dengan biaya bahan baku dan jasa yang digunakan untuk memproduksinya (input)
Era saat ini dimana perubahan iklim menjadi ancaman global, kebutuhan akan data pemantauan dan pengukuran laut akan sangat meningkat. Menurut Economist Impact - World Ocean Initiative, dua pertiga dari sektor ekonomi perubahan iklim yang berbasis pada kelautan (dua per tiga dari US$52 miliar) bergantung pada data OOS. Artinya, tanpa akses data OOS, sektor ini akan kehilangan US$34 miliar. Kebutuhan akan data OOS diperkirakan akan meningkat sebanyak 90% pada hitungan konservatif di tahun 2030.
Sektor blue/green shipping (pelayaran berkelanjutan) memanfaatkan OOS untuk optimalisasi rute, efisiensi bahan bakar, serta pemantauan dan pelaporan emisi karbon. Aktivitas ini akan mengalami kerugian sebesar US$1,3 miliar jika tidak menggunakan akses data OOS. Sektor energi terbarukan berbasis laut diperkirakan akan mengalami penurunan GVA sebesar US$517 juta jika tidak memanfaatkan data OOS. Hal serupa dapat dialami oleh sektor karbon biru, yang memanfaatkan data OOS untuk penetapan kawasan perlindungan laut (marine protected area/MPA), monitoring ekosistem untuk melacak kredit karbon, dan pengembangan praktik manajemen berkelanjutan. Sektor karbon biru akan mengalami penyusutan GVA sebesar 79% (atau US$14 juta) apabila dijalankan tanpa menggunakan data OOS.
Contoh pengaruh OOS secara ekonomi pada sektor-sektor di atas menunjukkan bahwa OOS memiliki pengaruh penting dan signifikan pada ekonomi biru (blue economy). Oleh karenanya, OOS sangat diperlukan Indonesia yang memiliki target meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) dari sektor maritim.
Bagaimana memulai OOS dengan sumber daya terbatas?
Menimbang potensi manfaat OOS dan tantangan keterbatasan sumber daya (dana, infrastruktur, tenaga ahli, dll), lalu bagaimana memulai (kembali) OOS bagi Indonesia? Pendekatan apa yang perlu dilakukan ketika Indonesia mengalami gagap riset dan inovasi kelautan seperti saat ini?
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sebenarnya Indonesia pernah memiliki InaGOOS, Indonesia Global Ocean Observing System, sebuah program pemantauan laut yang tertaut pada jejaring global. Sebagaimana tantangan serupa di negara-negara lain, program berbasis proyek seperti InaGOOS terpaksa mati suri saat sumber pendanaan tidak bisa berkelanjutan. Indonesia juga sebenarnya telah memiliki sejarah panjang riset dan inovasi di bidang kelautan dengan data laut yang melimpah yang dapat menjadi basis OOS. Berbagai universitas di Indonesia juga memiliki program studi kelautan yang dapat menjadi penyokong utama kelahiran para pakar di bidang kelautan.
Belajar dari pengalaman Afrika Selatan, yang sedang mendesain OOS regional meskipun dengan keterbatasan sumber daya dan ancaman pendanaan yang tidak berkelanjutan, Indonesia dapat menerapkan pendekatan TIER dalam mengembangkan kembali OOS-nya. Pendekatan ini membagi variabel laut esensial (essential ocean variable/EOV) dalam OOS ke dalam empat tingkatan, yang memungkinkan pengelolaan sumber daya secara lebih efisien dan bertahap. Tingkat pertama mencakup variabel-variabel dasar yang paling penting untuk dipantau, sementara tingkatan berikutnya mencakup variabel yang semakin kompleks dan membutuhkan teknologi serta sumber daya yang lebih besar. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat memulai dari tingkatan dasar yang lebih terjangkau dan relevan dengan prioritas nasional, sekaligus membangun kapasitas untuk memperluas pengamatan laut secara bertahap. Hal ini memungkinkan OOS tetap beroperasi meski ada keterbatasan, sambil membuka jalan untuk pengembangan lebih lanjut ketika sumber daya bertambah.
Pendekatan Tier pada OOS
Variabel laut esensial/EOV pada OOS dibagi menjadi tiga kelompok utama menurut Global Ocean Observing System (GOOS). Kelompok pertama adalah variabel fisik (e.g., suhu, salinitas, muka air laut, dll.). Selanjutnya adalah variabel biogeokimia (e.g., oksigen terlarut, nutrien, karbon organik, sistem karbonat, dll.), dan variabel biologi/ekosistem (e.g., kelimpahan fitiplankton, biomassa plankton, persentase tutupan vegetasi, dll.).
Tier I (blue level) meliputi variabel temperatur, salinitas dan muka air laut (untuk variabel fisik), oksigen terlarut, klorofil-a, nitrat dan fosfat (untuk variabel biogeokimia), serta tutupan vegetasi, biomassa fitoplankton, dan kelimpahan ikan komersial (untuk variabel biologi). Tier II (silver level) meliputi variabel pada Tier I dan ditambahkan variabel yang memerlukan metode dan peralatan pengukuran yang sedikit lebih maju. Variabel tersebut antara lain arus laut, dan gelombang (untuk variabel fisik); dissolved inorganic carbon/DIC, total alkalinity/TA, dan particulate organic carbon/POC (untuk variabel biogeokimia); serta biomassa vegetasi, komposisi dan struktur jenis, dan biomassa/struktur zooplankton.
Selanjutnya Tier III (gold level) meliputi variabel pada Tier II ditambah stratifikasi laut, suhu dan salinitas bawah permukaan (untuk faktor fisik); silikat, amonium, metana, dan nitrogen oksida (untuk variabel biogeokimia); serta distribusi jenis biota, mamalia dan burung laut (untuk variabel biologi). Terakhir adalah Tier IV (platinum level) meliputi variabel pada Tier III ditambah variabel esensial lainnya, i.e., wind stress, heat flux (untuk variabel fisik); tracer isotop, logam runutan, dissolved organic carbon/DOC (untuk biogeokimia); serta diversitas bentik, jejaring makanan, fenomena khusus-misalnya marak alga berbahaya (untuk variabel biologi).
Pendekatan Tier sebagaimana dicontohkan di atas dapat disesuaikan dengan melihat berbagai kriteria misalnya relevansi dengan tujuan OOS, sensitivitas pada perubahan lingkungan laut, efektifitas biaya, dan konsensus ilmiah. Secara berurutan sistem Tier disusun menurut fundamentalitas (fundamentality) dan kelengkapan (comprehensiveness), maksudnya adalah sejauh mana variabel-variabel OOS dapat digunakan untuk menjelaskan proses dan fenomena laut tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Pendekatan Tier pada OOS selanjutnya dapat digunakan untuk menimbang tingkat riset/pemantauan laut yang ingin dicapai merujuk pada sumber dana yang dimiliki (Gambar 1). Misalnya, apabila kita memiliki sumber daya yang cukup dan menginginkan data dengan resolusi spasial maupun temporal yang tinggi, kita dapat menetapkan Tier I atau II dengan analisis dan variabel dasar. Semakin besar biaya dan tinggi Tier-nya, maka kita bisa mendapatkan data dengan resolusi tinggi, dapat melakukan analisis mendalam dengan berbagai variabel.
📷