Seminggu terakhir (23-28 Juni 2024), saya menghadiri konferensi ilmiah internasional ke-21 dari Asia Oceania Geosciences Society (AOGS). Pada kesempatan ini, saya mempresentasikan hasil riset sistem karbonat dan pengasaman laut di perairan Paparan Sunda, Selat Singapura dan sekitarnya. AOGS merupakan perkumpulan masyarakat ilmiah dalam bidang Ilmu Kebumian khususnya di wilayah regional Asia dan Oseania. Perhimpunan lain yang bisa dibilang setara misalnya European Geoscience Union (EGU) di Eropa dan American Geophysical Union (AGU) di Amerika.
AOGS membagi sesi konferensi menjadi beberapa bidang utama, misalnya Ilmu Atmosfer, Biogeosains, Ilmu Hidrologi, Geosains Interdisipliner, Ilmu Kelautan, Sains Planet, Sains Surya dan Bumi, dan sebagainya. Bidang-bidang ini pada dasarnya merupakan cabang dari induk Ilmu Kebumian (Earth Sciences).
Bidang keilmuan saya adalah Oseanografi Kimia dengan kepakaran Biogeokimia Laut, sehingga dalam beberapa perhimpunan/komunitas dan konferensi ilmiah masih sering tergabung dalam kelompok besar semacam AOGS ini. Beberapa kali saya mengikuti pertemuan ilmiah dalam bidang Ilmu Kebumian semacam ini, namun saya selalu menemukan bahwa jumlah peserta pada sesi Ilmu Kelautan selalu lebih sedikit dari cabang ilmu yang lain. Hal yang sama terjadi pada AOGS 2024 pekan lalu di Korea Selatan. Saya sempat mendiskusikan hal ini dengan beberapa kolega dan panitia. Mereka pada prinsipnya menyadari bahwa tren ini disebabkan karena cabang Ilmu Kelautan sebenarnya sudah lama mengalami perkembangan yang menjadikannya mulai ‘terpisah’ dari Ilmu Kebumian sebagai induknya. Oleh karenanya, beberapa acara perhimpunan ilmiah Ilmu Kelautan biasanya diselenggarakan secara khusus terpisah dari geosains atau Ilmu Kebumian. Hal ini cukup beralasan mengingat Ilmu Kelautan memang telah mengalami perkembangan signifikan sehingga menjadi layak secara alamiah terpisah dari induk Ilmu Kebumian.
Garis waktu perkembangan Ilmu Kelautan
Evolusi Ilmu Kelautan sebagai bidang yang terpisah dari Ilmu Kebumian merupakan proses bertahap dan panjang yang dapat ditelusuri melalui tren publikasi ilmiah dan penelitian.
Istilah "Ilmu Kebumian" diperkirakan muncul pada tahun 1950-an, namun akarnya dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19, dengan pembentukan cabang ilmu geologi, meteorologi, dan oseanografi sebagai bidang yang berbeda. American Geophysical Union (AGU) didirikan pada tahun 1919, pada mulanya berfokus pada tiga bidang ini. Selanjutnya, pada tahun 1950-an dan 1960-an, Ilmu Kebumian mulai terbentuk sebagai bidang interdisipliner, yang mencakup geologi, meteorologi, oseanografi, dan geofisika.
Konsep modern Ilmu Kelautan sebagai bidang interdisipliner kira-kira mulai terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Hal ini ditandai dengan konferensi oseanografi internasional pertama diadakan pada tahun 1959 (dua tahun setelah pendirian UNESCO’s International Advisory Committee on Marine Sciences/IACOMS dan the Special Committee on Oceanic Research/SCOR), yang menandai titik balik perkembangan Ilmu Kelautan. Kemudian sejak tahun 1960-an dan 1970-an terjadi lonjakan penelitian kelautan, yang didorong oleh kemajuan teknologi, pendirian lembaga penelitian baru, dan meningkatnya kepedulian terhadap kesehatan dan konservasi laut.
Data tren publikasi kedua bidang ilmu juga menunjukkan garis waktu yang berbeda. Menurut basis data Google Cendekia, jumlah publikasi dengan judul atau abstrak "Earth Sciences" terus meningkat sejak tahun 1950-an. Sebaliknya, publikasi dengan "Marine Sciences" atau "Ocean Sciences" pada judul atau abstrak mulai meningkat pada tahun 1960-an dan 1970-an, dengan peningkatan yang lebih cepat pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Delapan alasan alamiah terpisahnya Ilmu Kelautan dari Ilmu Kebumian
Ilmu Kelautan meskipun secara tradisional merupakan subbidang dari Ilmu Kebumian, namun secara alamiah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi tren menuju kemandirian dari Ilmu Kebumian. Hal ini paling tidak disokong oleh delapan alasan berikut.
Pertama, sifat keilmuan yang cenderung interdisipliner; Ilmu Kelautan mengambil rumpun ilmu biologi, kimia, fisika, geologi, dan teknik, sehingga menjadikannya bidang yang berbeda yang tidak lagi sesuai dengan induk Ilmu Kebumian. Oleh karenanya, dalam Ilmu Kelautan kemudian berkembang beberapa cabang seperti Oseanografi Fisik, Oseanografi Kimia atau Kimia Laut, Oseanografi Biologi atau Biologi Laut, Oseanografi Geologi atau Geologi Laut.
Alasan kedua adalah spesialisasi riset. Ilmu Kelautan berfokus pada aspek-aspek unik lautan dan ekosistemnya, yang membutuhkan metode dan teknik penelitian spesifik yang berbeda dari apa yang digunakan dalam Ilmu Kebumian. Sebagai contoh, riset pengasaman laut yang melibatkan kajian dampak peningkatan karbondioksida terhadap komposisi kimia laut dan organisme, eksplorasi laut dalam yang merupakan investigasi lingkungan ekstrim dan memerlukan teknologi khusus, pengembangan model numerik yang kompleks dalam modeling laut, riset dan kajian siklus dan distribusi materi kimiawi laut yang dipelajari pada biogeokimia laut, dan seabagainya. Kebutuhan akan kajian-kajian yang spesifik semacam ini memerlukan keahlian, teknikm dan fasilitas yang juga khas, sehingga membedakannya dari induk Ilmu Kebumian.
Alasan ketiga adalah perluasan dan perkembangan riset oseanografi yang disebabkan oleh meningkatnya isu global. Penelitian oseanografi telah berkembang secara signifikan, didorong oleh keprihatinan tentang perubahan iklim, kerentanan kesehatan laut, dan isu mengenai pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Sebanyak 70% wilayah planet bumi yang merupakan lautan membuat isu global tersebut cukup layak mendapat perhatian khusus.
Alasan keempat adalah kemajuan teknologi. Teknologi baru dalam bidang lain seperti penginderaan jarak jauh, teknologi kendaraan bawah air otonom, dan teknologi observasi laut telah memungkinkan para peneliti untuk mempelajari lautan secara lebih rinci dan presisi. Perkembangan ini secara alamiah mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian serta publikasi ilmiah di bidang kelautan. Perkembangan ini tentunya secara divergen mendorong independensi Ilmu Kelautan.
Alasan kelima adalah kaitannya pada relevansi sosial. Ilmu Kelautan membahas isu-isu mendesak seperti perubahan iklim global, kenaikan permukaan laut, pengasaman laut, dan isu konservasi laut, yang memiliki implikasi sosial yang sangat signifikan. Implikasi sosial yang dimaksud dapat terkait dengan mitigasi dan adaptasi, ketahanan pangan, keamanan laut, ketahanan energi, dan sebagainya. Artinya, dalam rangka mengatasi berbagai isu yang kompleks, Ilmu Kelautan sangat dibutuhkan.
Keenam adalah evolusi departemen akademik. Secara alamiah, seiring dengan pergeseran minat penelitian, departemen akademik juga ikut berkembang dan beradaptasi. Hal ini mengarah pada pendirian departemen atau institusi Ilmu Kelautan yang mandiri. Misalnya pada tahun 1960-an di Indonesia berdiri Lembaga Penelitian Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, dan Dinas Hidrografi Angkatan Laut (sekarang Pusat Hidrooseanografi Angkatan Laut). Tahun 1984 Departemen Pendidikan mengembangkan ilmu kelautan dengan mendirikan program studi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Berikutnya adalah alasan ketujuh, tren inisiatif dan kolaborasi internasional. Inisiatif dan kolaborasi oseanografi global telah menumbuhkan rasa kebersamaan di antara para peneliti dan praktisi kelautan, yang semakin mengukuhkan Ilmu Kelautan sebagai bidang yang berbeda. Beberapa diantaranya yang cukup signifikan dan mendunia adalah 1) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS): Perjanjian internasional yang menetapkan kerangka hukum untuk penggunaan lautan dunia; 2) Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) of UNESCO, Organisasi global yang mengoordinasikan penelitian, pengamatan, dan pengelolaan laut; 3) Organisasi Maritim Internasional (IMO): Badan PBB yang mengembangkan dan menerapkan standar global untuk pelayaran, keselamatan, dan perlindungan lingkungan; 4) Sistem Pengamatan Laut Global (Global Ocean Observing System/GOS): Jaringan internasional sistem pengamatan laut yang menyediakan data dan informasi mengenai kesehatan dan iklim laut; 5) Prakarsa konservasi dan pengelolaan laut: Perjanjian internasional seperti Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES) dan Kawasan Konservasi Laut (KKL) mendorong kerja sama dalam konservasi laut; 6) kolaborasi internasional Global Ocean Data Assimilation Experiment (GODAE) dan Climate Variability and Predictability (CLIVAR).
Terakhir, alasan kedelapan, tren penerbitan ilmiah dan pendanaan. Disadari atau tidak, jumlah jurnal yang berfokus pada kelautan, hibah penelitian, dan lembaga pendanaan level global dan regional telah cukup meningkat, mendukung pertumbuhan Ilmu Kelautan sebagai bidang yang independen. Faktor-faktor ini telah berkontribusi pada kemunculan Ilmu Kelautan sebagai bidang yang berbeda, ‘terpisah’ dari bidang induknya yaitu Ilmu Kebumian.
Kebutuhan entitas organisasi riset kelautan di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ribuan pulau dan wilayah laut yang luas. Lautan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia melalui perikanan, pariwisata, dan pelayaran. Indonesia juga sedang menghadapi tantangan lingkungan terkait laut seperti pencemaran, kerusakan pesisir, dan penangkapan ikan yang berlebihan. Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut dan pengasaman laut. Sementara itu, Indonesia sangat bergantung pada perikanan dan akuakultur sebagai bagian dari ketahanan pangan.
Oleh karenanya, sebuah organisasi riset diharapkan dapat memberikan solusi ilmiah untuk masalah-masalah ini. Penelitian tentang ilmu kelautan dapat menginformasikan strategi mitigasi perubahan iklim. Penelitian ilmu kelautan dapat meningkatkan pengelolaan perikanan dan praktik akuakultur yang berkelanjutan. Sebuah organisasi riset kelautan yang berdedikasi dapat membantu memanfaatkan potensi sumber daya lautnya. Akhirnya. riset dan inovasi dalam ilmu kelautan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Entitas riset ilmu kelautan juga dapat memfasilitasi kolaborasi dengan mitra internasional, memanfaatkan keahlian dan sumber daya global untuk mengatasi tantangan di bidang kelautan secara bersama-sama. Organisasi riset kelautan diharapkan dapat membangun kapasitas nasional dalam ilmu kelautan, mengembangkan keahlian dan keterampilan untuk mengatasi tantangan terkait kelautan di Indonesia. Pada akhirnya, hasil riset kelautan diperlukan bagi pembuatan kebijakan berbasis bukti, mendukung pengelolaan dan tata kelola laut yang berkelanjutan.
Terakhir, kiranya Indonesia membutuhkan organisasi riset kelautan adalah untuk kebanggaan dan kedaulatan nasional. Mendirikan organisasi riset untuk ilmu kelautan dapat menunjukkan komitmen Indonesia untuk memajukan pengetahuan ilmiah dan melindungi wilayah lautnya. Dengan membentuk organisasi riset ilmu kelautan, Indonesia dapat memprioritaskan agenda kelautan, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan menjadi pemimpin global dalam riset dan inovasi kelautan.