Selama berkecimpung dalam riset dinamika karbon laut dan karbon biru ekosistem padang lamun, ada dua pertanyaan yang sering disampaikan oleh mitra kerjasama dan pemangku kepentingan. Pertanyaan pertama adalah bagaimana membawa karbon biru ekosistem padang lamun sebagai bagian dari National Determined Contribution (NDC) dan yang kedua adalah bagaimana potensi karbon biru padang lamun di pasar karbon. Dua pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.

Bagi pemangku kepentingan terkait, dua pertanyaan tersebut terkait dengan target penurunan emisi karbon sebesar 32%. Oleh karenanya, selain sektor-sektor yang sudah siap, diperlukan aktivitas alternatif yang dapat berkontribusi pada penurunan emisi karbon, salah satunya adalah dari karbon biru.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), karbon biru didefinisikan sebagai “semua fluks dan penyimpanan karbon yang diatur secara biologis (biologically-driven) dalam sistem laut yang dapat dikelola (amenable to management).” Saat ini ada dua ekosistem karbon biru di Indonesia yang cukup dikenal yaitu mangrove dan padang lamun.

Kembali pada dua pertanyaan di atas, membawa karbon biru padang lamun menjadi bagian dari NDC maupun untuk pasar karbon bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Namun demikian, hal tersebut memerlukan usaha bersama yang lebih besar dan nyata jika melihat kondisi di Indonesia saat ini.

Kebutuhan dan alur untuk membawa karbon biru padang lamun menjadi bagian dari NDC ataupun pasar karbon dapat digambarkan secara ringkas seperti pada Gambar terlampir. Data dasar yang harus dipenuhi meliputi data oseanografi dan biogeokimia karbon, data ekologi dan biologi, serta data geospasial. Tahap selanjutnya merupakan tahap antara yang harus dipenuhi antara lain tersedianya informasi mengenai luas area padang lamun nasional dan provinsi, laju degradasi padang lamun dan faktor emisi yang spesifik menurut lokasi, dan inventaris karbon padang lamun nasional. Data dan informasi tersebut akan dapat diacu untuk aktivitas konservasi sebagai carbon offsetting dan penurunan emisi karbon. Carbon offsetting merupakan aktivitas penurunan gas rumah kaca atau emisi karbon dioksida yang dibuat untuk "mengimbangi" (mengkompensasi) emisi yang dihasilkan di tempat lain. Aktivitas konservasi merupakan aktivitas yang dapat dikelola (amenable to management) sehingga sangat potensial untuk dimasukkan pada daftar aktivitas penurunan emisi karbon pada NDC untuk sektor karbon biru.

Akan tetapi, karbon biru padang lamun saat ini mengalami bottleneck riset pada beberapa hal, misalnya menentukan luas padang lamun (seagrass area), menentukan laju degradasi padang lamun, inventarisasi karbon lamun nasional, carbon offsetting, dan carbon emission reduction. Verifikasi dan standarisasi aktivitas penurunan emisi karbon (konservasi, rehabilitasi, restorasi) memiliki tantangan tersendiri. Saat ini belum ada metode yang disepakati untuk melakukan hal tersebut pada karbon biru padang lamun. Sehingga, untuk membawa karbon biru padang lamun menjadi bagian dari NDC kiranya masih memerlukan usaha transdisipliner, masif dan terstruktur.

Beberapa area riset karbon biru di Indonesia yang perlu ditingkatkan

Jika melihat bottlenect riset karbon biru, maka berikut ini adalah beberapa area riset yang perlu ditingkatka. Pertama adalah riset untuk menentukan luas padang lamun sehingga diperoleh data yang lebih konklusif. Saat ini verifikasi langsung luas padang lamun nasional baru mencapai sepertiga dari potensi padang lamun secara keseluruhan. Kedua adalah menentukan laju degradasi padang lamun dan faktor emisi. Penelitian sebelumnya menggunakan asumsi laju degradasi padang lamun global antara 2.5 sampai 5% per tahun, atau di Asia Tenggara sebesar 2.8% per tahun. Namun, jika menilik wilayah Indonesia yang beragam dengan aktivitas manusianya, kiranya laju degradasi padang lamun dari satu lokasi ke lokasi lainnya bisa beragam. Informasi yang holistik diperlukan untuk memotret kondisi faktual padang lamun Indonesia. Data laju degradasi dan data cadangan karbon padang lamun yang sudah tersedia selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan faktor emisi padang lamun di setiap lokasi.

Area riset ketiga adalah invetarisasi karbon padang lamun nasional. Hal ini dapat dilakukan jika luas padang lamun, laju degradasi, dan faktor emisi telah ditentukan. Inventarisasi karbon padang lamun ini nantinya terdiri atas total karbon yang diserap, total karbon yang disimpan, dan total karbon yang diemisikan oleh sebab degradasi atau perubahan lahan. Inventarisasi karbon nantinya akan bermanfaat untuk perbandingan antara kondisi business as usual dengan kondisi ketika diimplementasikan aktivitas mitigasi misalnya konservasi atau restorasi padang lamun.

Area riset keempat adalah offset karbon (carbon offsetting) dan perhitungan penurunan emisi karbon dari aktivitas mitigasi tertentu. Offset karbon adalah aktivitas penurunan gas rumah kaca atau emisi karbon yang dilakukan untuk "mengimbangi" (mengkompensasi) emisi yang dihasilkan di tempat lain. Terkait dengan ekosistem karbon biru padang lamun, aktivitas untuk offset karbon dapat berupa konservasi, rehabilitasi atau restorasi. Oleh karenanya, diperlukan juga metode untuk verifikasi dan standarisasi aktivitas penurunan emisi karbon tersebut.

Menyoal pasar karbon dari karbon biru padang lamun, akan ada beberapa hal yang lebih kompleks lagi karena ada faktor kebijakan, regulasi, tata kelola dan faktor ekonomi. Sebelum hal-hal tersebut, diperlukan juga mekanisme kredit karbon yang hanya bisa terwujud jika telah ada aktivitas yang dapat dikelola (amenable to management) dan terstandar, baik itu aktivitas konservasi, rehabilitasi maupun restorasi padang lamun. Menurut Friess dkk. (2022), aktivitas-aktivitas ini merupakan pasokan (supply) bagi kredit karbon dan akan menjadi faktor utama bagi permintaan (demand) pada pasar karbon. Sebagai contoh, riset yang dilakukan Wahyudi dkk. (2022) menyebutkan bahwa aktivitas konservasi padang lamun pada area perlindungan laut (marine protected area/MPA) di lima provinsi di Indonesia berpotensi mengurangi emisi karbon sebesar 6,9% dari business as usual/BAU. Sehingga total pengurangan emisi karbon pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 11,6 ton karbon dioksida (atau setara dengan 226 USD; dengan harga 19,5 USD per ton CO2e). Jika kita dapat melakukan verifikasi dan standarisasi aktivitas konservasi semacam ini, bukan tidak mungkin ke depan Indonesia dapat memenuhi permintaan karbon kredit dari sektor swasta.

More A'an J. Wahyudi's questions See All
Similar questions and discussions