“Kita sekarang satu-persatu, seorang demi seorang harus jakin bahwa Indonesia tidak bisa mendjadi negara jang kuat, sentausa, sedjahtera, djikalau kita tidak menguasai pula samudera, djikalau kita tidak kembali mendjadi satu bangsa samudera, djikalau kita tidak kembali mendjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagai kita kenal di zaman bahari itu.”(Ir. Soekarno; Munas Maritim ke-I, Jakarta, 23 September 1963).

Laut adalah ruang hidup, bukan sekadar hamparan biru di peta. Laut adalah jantung dari identitas dan keberlanjutan bangsa kita. Bung Karno sudah mengingatkan sejak 1963 bahwa kejayaan negeri ini tak akan pernah lengkap jika kita abai terhadap lautan. Sejarah mencatat bagaimana Deklarasi Djuanda tahun 1957 menjadi fondasi maritim bangsa. Lewat deklarasi itu, Indonesia menegaskan diri sebagai negara kepulauan, di mana laut yang memisahkan pulau justru menyatukannya. Dari yang hanya berdaulat 3 mil dari pantai tiap pulau, batas wilayah laut pun diperluas menjadi 12 mil dari garis dasar kepulauan. Dunia akhirnya mengakui itu lewat Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Tapi pengakuan hukum saja tidak cukup. Kini, menyambut 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibutuhkan adalah aksi nyata untuk menjaga laut dalam era yang penuh tantangan, mulai dari krisis iklim hingga pencemaran.

Gejolak laut yang tak kasat mata dan limbah yang menari dalam ombak

Laut kita merupakan bagian dari corong arus global, tempat bersilangnya Samudra Hindia dan Pasifik melalui Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow). Sistem sirkulasi ini menggerakkan massa air, membawa nutrien, serta memengaruhi iklim regional hingga global. Namun, justru karena kompleksitas ini, laut Indonesia sangat bervariasi secara spasial dan temporal. Ada daerah dengan upwelling kaya nutrien seperti di selatan Jawa, ada pula muara sungai besar di Kalimantan dan Papua yang membawa limpasan material. Ada pula daerah dengan dinamika sistem karbonat yang masif di wilayah laut paparan Sunda (Laut Jawa, Laut Natuna, Selat Karimata, Selat Malaka, dan Selat Sunda). Dinamika ini membuat pemantauan laut tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal. Kita butuh pendekatan sistemik, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Permukaan laut bisa saja terlihat tenang, namun di bawahnya, terjadi perubahan besar yang mengancam ekosistem laut dan kehidupan manusia yang bergantung padanya. Salah satu ancaman paling serius adalah pengasaman laut, yaitu saat karbon dioksida (CO2) dari atmosfer larut ke dalam air laut dan kemudian menurunkan pH-nya. Proses ini menyebabkan biota laut seperti kerang, terumbu karang, dan plankton kesulitan membentuk cangkang, sehingga mengganggu rantai makanan. Bersamaan dengan itu, terjadi pula deoksigenasi, berupa penurunan kadar oksigen terlarut (DO) di laut. Padahal, oksigen adalah nafas bagi biota laut. Ketika oksigen menipis, banyak ikan dan organisme dasar laut terpaksa bermigrasi atau bahkan mati. Tak hanya itu, laut juga menghadapi pemanasan ekstrem. Marine heatwaves atau gelombang panas laut makin sering terjadi, menyebabkan pemutihan karang dan migrasi spesies, yang berakibat pada penurunan hasil tangkap nelayan. Suhu laut yang meningkat juga memperkuat stratifikasi laut, i.e., terbentuknya lapisan suhu yang menghalangi pencampuran air dan sirkulasi nutrien, memperparah kondisi deoksigenasi.

Selain ancaman akibat perubahan iklim, laut kita juga dijejali polusi dari daratan. Limbah rumah tangga, industri, dan pertanian mengalir ke sungai dan bermuara di laut. Beban nutrien berlebih seperti nitrogen dan fosfat memicu ledakan alga yang dikenal sebagai eutrofikasi. Saat alga ini mati dan membusuk, oksigen di laut terkuras dan menciptakan zona mati tanpa oksigen (hipoksia). Kondisi ini diperparah oleh dampak perubahan pesisir, antara lain abrasi, penurunan tanah, sedimentasi, dan perubahan cepat garis pantai. Banyak kawasan pesisir kini tak lagi stabil, dan ekosistem penting seperti mangrove dan padang lamun tergerus perlahan oleh alih guna lahan.

Kondisi rumit terjadi ketika terdapat interaksi simultan antara dinamika laut dan pencemaran. Arus laut bisa membawa polutan jauh dari sumbernya, menyebarkannya ke wilayah laut yang lebih luas. Kombinasi antara pencemaran dan dinamika fisik ini menciptakan kondisi yang sulit dikendalikan, dan berbahaya jika tidak dipantau secara cermat.

Saatnya Bangun Sistem Ketahanan Laut yang Prediktif

Menghadapi kompleksitas dan ancaman terhadap laut, kita tidak bisa lagi bergantung pada data sporadis atau pengamatan manual yang lambat. Kita butuh sistem yang mampu memantau, memetakan, dan memprediksi kondisi laut secara cepat dan akurat. Inilah yang disebut Sistem Ketahanan Laut Prediktif—sebuah kerangka kerja modern untuk menjaga laut.

Bayangkan suatu sistem yang dapat mendeteksi perubahan laut secara cepat, apakah pH sedang turun? Apakah suhu naik tajam? Apakah DO anjlok? Sistem yang dapat memetakan kondisi laut secara spasial-temporal, e.g., di mana laut paling tercemar minggu ini? di mana zona hipoksia sedang meluas? Sistem yang bisa memprediksi dan memberi peringatan dini, yang seperti prakiraan cuaca, sistem ini memberi peringatan pada nelayan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Sistem yang dapat mendukung pengambilan kebijakan adaptif, yang berbasis bukti dan proaktif menghadapi krisis iklim laut. Semua ini bisa terjadi jika data dari berbagai sumber baik itu data lapangan, satelit, sensor pantai, hingga model numerik dapat dihimpun dan dianalisis secara terpadu dalam satu sistem.

Oleh karenanya, diperlukan inovasi yang dapat menjadi jantung dari sistem ketahanan laut. Pertama adalah pemodelan oseanografi resolusi tinggi, yang bisa menyimulasikan dinamika laut dalam skala spasial dan temporal yang detil. Pemodelan ini memperhitungkan variabel fisik laut (misalnya: arus, suhu, salinitas) dan variabel kimiawi (misalnya: nutrien, oksigen, pH, polutan). Kedua, integrasi data multi-sumber sangat krusial. Data satelit memberikan cakupan luas dan rutin, sementara sensor pantai dan data historis memberi detail lokal yang presisi. Ketiga, hadirnya kecerdasan buatan (AI) memungkinkan pengolahan data dalam jumlah besar, mendeteksi pola anomali, dan membuat prediksi berbasis pembelajaran mesin. Semua data ini harus disajikan dalam dashboard interaktif yang mudah diakses, baik oleh pemerintah, peneliti, nelayan, maupun masyarakat umum. Transparansi dan keterbukaan data adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan berbasis sains benar-benar diterapkan.

Peran Strategis Riset: Dari Laboratorium ke Kebijakan

Di tengah berbagai inisiatif ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki posisi strategis. Sebagai lembaga riset utama negeri ini, BRIN tak hanya bisa mengembangkan teknologi pemantauan laut, tapi juga menjadi jembatan antara sains dan kebijakan.

BRIN dapat mendorong pembentukan Ocean Observing System (OOS) nasional yang berkelanjutan dan mengikuti standar global. Sistem ini memungkinkan pengumpulan data laut secara sistematis di berbagai lokasi, musim, dan kedalaman. BRIN juga berpeluang membangun National Ocean Data Center, pusat data kelautan nasional yang terbuka, terkini, dan dapat digunakan lintas sektor. Lebih dari itu, BRIN bisa menyuarakan pentingnya kebijakan adaptif berbasis bukti, di mana keputusan tentang tata kelola laut tidak hanya berdasarkan insting politik, tapi juga sains yang terukur dan dapat diverifikasi.

Laut sebagai Masa Depan, Bukan Sekadar Warisan

Laut bukan hanya jalur perdagangan atau sumber ikan. Ia adalah penopang iklim, penyeimbang ekosistem, dan harapan pangan masa depan. Jika laut rusak, maka krisis tidak hanya terjadi di pesisir, tapi akan menjalar ke daratan, mempengaruhi sendi perekonomian bangsa. Deklarasi Djuanda dan pidato Bung Karno harusnya tidak hanya dikenang setiap tahun, tapi diwujudkan dalam langkah konkret. Dengan teknologi yang tersedia, dengan sains yang terus berkembang, dan dengan semangat bangsa bahari, kita bisa mengawal laut menuju masa depan yang lebih lestari. Pun sebagaimana yang disampaikan António Guteres dalam Konferensi Laut PBB bulan Juni tahun ini: “To #SaveOurOcean, you must match words with action —with concrete national plans; by harnessing science, driving innovation & ensuring fair access to technology; by empowering fishers, Indigenous peoples & youth; and above all by investing.”

Laut kita, masa depan kita, dan masa depan itu dimulai dari sekarang.

More A'an J. Wahyudi's questions See All
Similar questions and discussions