Jika kita membayangkan rawa-rawa yang ada di Indonesia, biasanya akan terbayang area berlumpur dengan air yang gelap kecoklatan. Bagaimana jika air dengan kandungan karbon yang tinggi ini masuk ke perairan laut yang biru? apa yang terjadi dengan karbon yang terkandung di dalamnya?
Memahami transfer karbon dari daratan ke laut menjadi krusial terutama di kawasan Asia Tenggara yang memiliki perairan laut dangkal paparan benua. Pemahaman ini akan bermanfaat untuk memahami dampak aktivitas antropogenik di daratan terhadap perairan laut. Wilayah laut Paparan Sunda misalnya, membentang di bagian barat wilayah Indonesia, terdiri dari Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Teluk Thailand, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, dan perairan pesisir di sekitarnya. Wilayah laut Paparan Sunda dipengaruhi oleh daratan pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan (Borneo), dan semenanjung Malaysia yang banyak memiliki rawa-rawa dan memberikan masukan berbagai materi organik ke perairan laut Paparan Sunda. Pembangunan yang cukup masif di wilayah ini turut mempengaruhi tingginya material antropogenik yang masuk ke laut. Selain itu, meskipun pulau Jawa tidak memiliki banyak rawa-rawa, namun pembangunan masif di pulau ini telah memberikan pengaruh signifikan terhadap pencemaran, materi organik dan pengayaan karbon di perairan Paparan Sunda.
Karbon berpindah dari darat ke laut sangat mudah terjadi apabila terbawa oleh limpasan air rawa, sungai dan air hujan. Bentuknya sebagai materi organik partikulat maupun terlarut. Materi organik dari limpasan rawa dan sungai seringkali berada dalam bentuk karbon organik, yaitu senyawa mengandung karbon yang berasal dari makhluk hidup, seperti tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Air rawa yang berwarna kehitaman atau kecoklatan banyak mengandung karbon organik terlarut (dissolved organic carbon). Senyawa ini berpindah ke perairan laut melalui sungai yang masuk ke estuari atau limpasan air hujan yang langsung menuju pesisir.
Kawasan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem monsun, menyebabkan variasi jumlah masukan karbon organik terlarut dipengaruhi oleh musim. Karbon organik terlarut yang masuk ke perairan Paparan Sunda meningkat signifikan saat musim penghujan (monsun barat daya di belahan bumi utara dan monsun barat laut di belahan bumi selatan).
Meskipun mendapat limpasan material karbon organik terlarut yang banyak dari daratan, namun perairan Paparan Sunda juga dapat memproduksi karbon organik terlarut dari hasil produksi organisme laut seperti fitoplankton dan mikroorganisme lainnya. Perbedaan sumber karbon organik terlarut yang berasal dari daratan dan yang berasal dari laut inilah yang menjadikan pencampuran karbon organik terlarut di wilayah pesisir dan estuari. Kuantifikasi jumlah karbon dari masing-masing sumber inilah yang menarik perhatian peneliti. Kuantifikasi ini sangat penting untuk memahami peran karbon organik terlarut dalam siklus karbon global dan perubahan iklim.
Kuantifikasi materi dan karbon organik terlarut
Meskipun menarik, kuantifikasi materi organik terlarut tidaklah mudah. Oleh sebab itu, peneliti mengembangkan suatu metode pelacakan menggunakan penanda alami yaitu isotop stabil karbon dan hidrogen (deuterium). Isotop stabil adalah varian dari unsur kimia yang memiliki jumlah neutron yang berbeda tetapi tetap memiliki jumlah proton yang sama. Isotop-isotop ini tidak mengalami peluruhan radioaktif secara spontan, yang berarti mereka stabil dan tidak berubah menjadi unsur lain atau isotop lain seiring berjalannya waktu.
Contoh isotop stabil adalah karbon-12 (¹²C), yang memiliki 6 proton dan 6 neutron, dan karbon-13 (¹³C), yang memiliki 6 proton dan 7 neutron. Isotop stabil dari unsur hidrogen, misalnya protium/hidrogen-1 (¹H), yang hanya memiliki 1 proton dan tanpa neutron, dan deuterium/hidrogen-2 (²H), yang memiliki 1 proton dan 1 neutron. Penanda alami isotop memanfaatkan perbandingan jumlah isotop stabil yang lebih berat relatif terhadap isotop yang lebih ringan, masing-masing dinotasikan sebagai delta¹³C dan delta²H. Kedua penanda alami inilah yang terdapat pada setiap materi organik terlarut karena materi organik mengandung unsur karbon dan hidrogen.
Layaknya sidik jari pada manusia, properti penanda alami isotop stabil setiap senyawa bersifat unik. Materi organik terlarut terrestrial memiliki properti yang berbeda dengan materi organik terlarut dari lautan. Sumber materi organik darat dan laut memiliki karakteristik isotop tertentu yang dapat digunakan sebagai referensi atau acuan untuk memahami variasi isotop dalam sistem perairan yang sarat dengan percampuran massa air. Sumber acuan ini disebut sebagai end-member dalam kajian biogeokimia. Peneliti menggunakan end-member materi organik dari sungai di Kalimantan dan Sumatra untuk acuan sumber materi organik terestrial. Sementara itu, materi organik dari perairan Paparan Sunda (Selat Singapura) saat musim monsun timur laut digunakan sebagai end-member materi organik laut.
Delta²H memiliki rentang end-member lebih lebar daripada delta¹³C. Berdasarkan sifat inilah, maka peneliti menggunakan kombinasi keduanya untuk melacak kontribusi materi organik terlarut terestrial yang masuk ke laut, serta menghitung komposisi sumber materi organik dan karbon yang berasal dari darat dan laut dalam materi organik terlarut di sistem laut Paparan Sunda.
Hasil penelitian terbaru oleh tim peneliti dari Indonesia, Singapura, Swedia dan Amerika Serikat (Wahyudi dkk., 2024) menyebutkan bahwa terdapat rerata 16-19% fraksi daratan/terestrial pada materi organik terlarut di perairan Paparan Sunda. Kedua metode masing-masing dengan penanda isotop stabil delta¹³C dan delta²H (deuterium) memberikan hasil perhitungan yang mirip. Bahkan metode dengan deuterium terbukti lebih efektif dalam menghitung proporsi karbon organik terlarut terestrial dalam materi organik terlarut perairan Paparan Sunda, menawarkan alternatif apabila properti delta¹³C tidak memadai.
Meskipun demikian, metode dengan deuterium memiliki kelemahan diantaranya tahapan analisis yang lebih kompleks sehingga memakan biaya lebih mahal. Namun, karena memiliki rentang end-member yang lebar, maka deuterium lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan kecil pada komposisi karbon organik terlarut di laut. Delta¹³C memiliki sensitivitas lebih rendah daripada deuterium meski tahapan analisis lebih sedikit dengan biaya lebih murah. Oleh karena itu, pemilihan metode yang akan digunakan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan riset. Apabila kita ingin meneliti komposisi materi organik terlarut di laut Paparan Sunda yang kompleks, maka kombinasi kedua metode sangat dianjurkan.
Pengaruh karbon organik terlarut dari darat ke laut Paparan Sunda
Wahyudi dkk. (2024) menyebutkan bahwa perubahan musim yang berpengaruh pada perubahan salinitas, properti materi organik terlarut, dan delta¹³C mengindikasikan masukan signifikan karbon organik terlarut terestrial selama musim monsun barat daya di laut Paparan Sunda bagian utara. Selama musim ini, nilai delta¹³C turun sampai -25 persejuta (-25‰) atau bahkan lebih rendah, menunjukkan limpasan karbon organik terlarut dari daratan. Deteksi menggunakan deuterium menunjukkan fraksi terestrial pada materi organik terlarut memiliki proporsi yang bahkan lebih besar daripada rerata (mencapai lebih dari 50%).
Masukan karbon organik terlarut terestrial ke laut Paparan Sunda didorong oleh adveksi fisik perairan yang dipengaruhi limpasan dari lahan gambut dan rawa ke lepas pantai Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan. Selain itu, sungai-sungai berair gelap atau kecoklatan yang membawa materi organik dari rawa diidentifikasi sebagai sumber utama karbon organik terlarut terestrial yang masuk ke wilayah tengah laut Paparan Sunda (i.e., Selat Singapura dan sekitarnya). Penelitian sebelumnya oleh Zhou dkk. (2021) menyebutkan bahwa limpasan karbon organik terlarut ke laut Paparan Sunda berkontribusi sebesar 10% dari total siklus karbon global. Hal ini menunjukkan peran krusial wilayah ini terhadap pengaturan karbon global.
Karbon organik terlarut yang masuk ke laut Paparan Sunda, sebagian besar mengalami dekomposisi atau pelapukan sehingga berubah menjadi karbon anorganik dan gas karbon dioksida. Pengujian dengan menggunakan deuterium sebagai pelacak menunjukkan bahwa karbon organik terlarut terestrial mengalami pencampuran dengan air laut dan degradasi biogeokimia saat mencapai area yang lebih luas di Paparan Sunda (Wahyudi dkk., 2024). Proses ini bervariasi tergantung kondisi hidrologi dan klimatologi, sebagaimana dipengaruhi oleh variasi oseanografi, sistem monsun, dan faktor iklim Samudra Pasifik dan Hindia.
Proses yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas antropogenik di daratan yang kemudian meningkatkan jumlah limpasan materi organik ke laut akan berdampak pada peningkatan emisi karbondioksida dari laut ke atmosfer. Jika mempertimbangkan dampak lainnya berupa pengayaan dan pencemaran materi organik di perairan pesisir kawasan Paparan Sunda, maka pengaruh antropogenik daratan semakin besar dan signifikan terhadap kesehatan ekosistem laut di wilayah ini. Aktivitas alih guna lahan di area rawa gambut dan pesisir dapat meningkatkan pengaruh negatif ini. Oleh karenanya penting bagi semua pihak untuk bekerjasama mengelola lahan rawa gambut tropis dan pesisir dengan lebih berkesinambungan dan lestari.
Sebagai kesimpulan, bahasan kali ini menyoroti hubungan penting antara daratan (khususnya rawa gambut dan sungai) dengan laut Paparan Sunda. Penelitian yang mendokumentasikan transfer musiman karbon organik terlarut terestrial dari rawa gambut ke laut Paparan Sunda menggambarkan bagaimana proses terestrial memiliki dampak yang besar terhadap biogeokimia pesisir. Ulasan ini juga menyoroti perlunya memantau dan memahami hubungan darat-laut dengan lebih baik karena keanekaragaman hayati di ekosistem pesisir tropis sedang mengalami perubahan akibat perubahan lingkungan seperti penggundulan hutan, pemanasan akibat perubahan iklim, dan lain-lain. Ke depannya, nasib ekosistem laut bergantung pada kemampuan kita untuk beradaptasi dan dalam banyak kasus, mengendalikan tekanan antropogenik dengan tujuan untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia di daratan dan lautan.